Manusia punya harapan hidup bahagia nan mulia. Pertanyaannya, kebahagiaan macam apa? Karena hidup di dunia, kriteria duniawi yang dicari. Karena kekayaan dan harta benda diburu dengan berbagai laku. Entah laku hidup secara wajar, ataupun laku dalam arti bertandang ke berbagai tempat yang bisa mendapatkan harta dan kekayaan dengan jalan pintas.
Itulah mengapa kemudian manusia lari ke hal - hal mistik. Tempat - tempat yang dianggap mempunyai daya gaib, memberikan pemenuhan harapan seperti itulah yang kemudian di datangi. Padahal, anugerah itu bisa diraih dengan jalan laku kehidupan yang baik. Ganjaran iku wohing laku, ya jangan berharap.
Tidak ada yang akan menyalahkan orang memburu harta dan kekayaan lewat berbagai macam cara seperti yang terjadi di Gunung Kawi. Orang datang dengan segudang harapan untuk bisa mendapatkan keberuntungan karena kemurahan Yang Empunya rezeki. Kalau kita simak secara teliti banyak simbol terungkap. Simbol - simbol itu perlu dibaca secara arif.
Orang ke Gunung Kawi biasanya melakukan ritual di malam hari. Cukla - cukli bremara sari, ngisep madu sari neng tawang. Mencari sesuatu dengan laku keprihatinan di malam hari sambil menyerap keindahan hidup. Leluhur menambahkan Sing sepi resepana, dene yen ramai lambarana sepi, sing sepi sapanen, suwunen sawahe supaya antuk kasusantaning Sang Taya, bahwa di dalam kegelapan entah itu malam, maupun kegelapan pikir nikmatilah, carilah makna dibalik kegelapan dan sepi itu, dengan lambaran doa agar mendapatkan kekuatan dari Sang Empunya Hidup.
Oleh karenanya pelaku ini kemudian melakukan ritual memburu daun dan buah Dewa atau Dewandaru. Ada mitos, bila kejatuhan buah ataupun daun Dewandaru akan mendapatkan keberuntungan. Filosofi Jawa menyodorkan saran untuk memaknai semua ini secara arif.
Kejatuhan daun hijau. Yang berwarna hidup itu adalah pupus. Artinya mupusa, pasrah dan ikhlaskan dirimu kepada penyelenggaraan Illahi. Semua ini bisa dilakukan dengan semangat pupuse tansah ngengidung pepudyan jati, artinya bersemboyan dan semangat yang diarahkan kepada kekuasaan Tuhan. Sementara buah yang jatuh artinya buah yang matang. Berpikirlah secara matang dalam kehidupan di dunia ini, jangan grusa - grusu, atau nabrak - nabrak.
Sejatinya orang dituntut berpikir ulang ketika berada di gunung kawi mengejar keduniawian. Bukankah hidup tidak hanya bergantung dari beras, roti dan keduniawian saja. Tetapi juga dari sabda Tuhan. Pesan yang hendak disampaikan, ketika orang mendapatkan harta duniawi, untuk apa semua itu kalau hanya dinikmati sendiri.
Apa gunanya mendapatkan harta dunia kalau kehilangan nyawa sendiri. Misi hidup manusia sebagai makhluk sosial adalah ikut berpartisipasi dalam memanusiakan manusia. Tidak aneh kalau filosiofi Jawa memunculkan, memasuh malaning bumi, mangasah mingising budi, hamemayu hayuning bawana. Menghilangkan n4f5u keserakahan mengasah budi dan pikir agar semakin tajam dalam rasa. Serta membuat dunia semakin indah. Alangkah indah dan membahagiakan kalau semua kekayaan manusia juga berguna bagi orang lain.
Itulah mengapa kemudian manusia lari ke hal - hal mistik. Tempat - tempat yang dianggap mempunyai daya gaib, memberikan pemenuhan harapan seperti itulah yang kemudian di datangi. Padahal, anugerah itu bisa diraih dengan jalan laku kehidupan yang baik. Ganjaran iku wohing laku, ya jangan berharap.
Tidak ada yang akan menyalahkan orang memburu harta dan kekayaan lewat berbagai macam cara seperti yang terjadi di Gunung Kawi. Orang datang dengan segudang harapan untuk bisa mendapatkan keberuntungan karena kemurahan Yang Empunya rezeki. Kalau kita simak secara teliti banyak simbol terungkap. Simbol - simbol itu perlu dibaca secara arif.
Orang ke Gunung Kawi biasanya melakukan ritual di malam hari. Cukla - cukli bremara sari, ngisep madu sari neng tawang. Mencari sesuatu dengan laku keprihatinan di malam hari sambil menyerap keindahan hidup. Leluhur menambahkan Sing sepi resepana, dene yen ramai lambarana sepi, sing sepi sapanen, suwunen sawahe supaya antuk kasusantaning Sang Taya, bahwa di dalam kegelapan entah itu malam, maupun kegelapan pikir nikmatilah, carilah makna dibalik kegelapan dan sepi itu, dengan lambaran doa agar mendapatkan kekuatan dari Sang Empunya Hidup.
Oleh karenanya pelaku ini kemudian melakukan ritual memburu daun dan buah Dewa atau Dewandaru. Ada mitos, bila kejatuhan buah ataupun daun Dewandaru akan mendapatkan keberuntungan. Filosofi Jawa menyodorkan saran untuk memaknai semua ini secara arif.
Kejatuhan daun hijau. Yang berwarna hidup itu adalah pupus. Artinya mupusa, pasrah dan ikhlaskan dirimu kepada penyelenggaraan Illahi. Semua ini bisa dilakukan dengan semangat pupuse tansah ngengidung pepudyan jati, artinya bersemboyan dan semangat yang diarahkan kepada kekuasaan Tuhan. Sementara buah yang jatuh artinya buah yang matang. Berpikirlah secara matang dalam kehidupan di dunia ini, jangan grusa - grusu, atau nabrak - nabrak.
Sejatinya orang dituntut berpikir ulang ketika berada di gunung kawi mengejar keduniawian. Bukankah hidup tidak hanya bergantung dari beras, roti dan keduniawian saja. Tetapi juga dari sabda Tuhan. Pesan yang hendak disampaikan, ketika orang mendapatkan harta duniawi, untuk apa semua itu kalau hanya dinikmati sendiri.
Apa gunanya mendapatkan harta dunia kalau kehilangan nyawa sendiri. Misi hidup manusia sebagai makhluk sosial adalah ikut berpartisipasi dalam memanusiakan manusia. Tidak aneh kalau filosiofi Jawa memunculkan, memasuh malaning bumi, mangasah mingising budi, hamemayu hayuning bawana. Menghilangkan n4f5u keserakahan mengasah budi dan pikir agar semakin tajam dalam rasa. Serta membuat dunia semakin indah. Alangkah indah dan membahagiakan kalau semua kekayaan manusia juga berguna bagi orang lain.